Bedah Buku Dibawah
Bendera Revolusi"Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme"
Artikel Bung Karno yang
berjudul Nasionalisme, Islamisme
dan Marxisme, (DBR I hal. 1-23)
yang ditulis tahun 1926 memang merupakan salah satu artikel yang cukup menarik
untuk dibedah karena materi yang terka ndung sangatlah relevan dengan fenomena
ketatanegaraan Indonesia saat ini, dimana kekuatan-kekuatan ideologi (kiri)
kembali mencuat ke muka setelah tiga dekade sempat terkubur dalam kepemimpinan
rejim tiran.
Artikel ini juga
menjadi sangat penting karena memuat sebuah gagasan dasar yang kelak akan
menjadi landasan konsep kebangsaan Indonesia. Dalam artikel tersebut Bung Karno
mencoba menyatukan tiga kekuatan besar yang ada di Indonesia pada saat itu
dalam satu front nasional, yaitu nasionalis, Islam, dan marxis (kelak akan
disempurnakan dalam sebuah strategi persatuan "Nasakom").
Gagasan penyatuan
kekuatan oleh Bung Karno itu pada dasarnya didasarkan pada sebuah fakta sejarah
dimana pergerakan nasional saat itu sulit mencapai kristalisasi perjuangan akib
at tidak mampu bersinerginya kekuatan-kekuatan nasional yang ada. Sehingga
pergerakan nasional menjadi parsial dan cenderung fragmentatif. Untuk itu, Bung
Karno merasa perlu menyatukannya, dengan harapan gerakan dapat kembali massif
melawan imperium kapit alis.
Langkah yang dipakai
Bung Karno dalam upaya menyatukan tiga kekuatan tersebut sangatlah brilian
karena ia berhasil membedahnya dalam perspektif masing-masing kekuatan.
Sehingga kesamaan-kesamaan prinsip kembali ditemukan dan ditegaskan untuk
kemudia n disatukan sebagai satu keharusan sejarah (historische notwendigkeit).
*********
Kekuatan yang pertama
dibedah Bung Karno adalah nasionalis. Dalam membedah nasionalisme tersebut,
bung Karno mengawalinya dengan menceritakan sejarah munculnya paham nasion
alisme dengan mengutip pernyataan Ernest Renan (1882), seorang filusuf Perancis
dan Otto Bauer (kelompok Austromarxis). Renan memunculkan satu teori bahwa
munculnya satu bangsa karena adanya perasaan ingin hidup bersama (bersatu).
Sementara Bauer menyatak an bahwa munculnya suatu bangsa itu bukan semata-mata
hanya karena adanya kesamaan ras, bahasa, suku, agama ataupun kebutuhan, tetapi
lebih dari itu, timbulnya bangsa karena adanya kesamaan riwayat (sejarah)
bersama. Dan teori Renan dan
Bauer ini ternyata relevan di kemudian hari dengan sejarah berdirinya bangsa
Indonesia atas kesamaan nasib (sejarah) sebagai bangsa yang tertindas.
Dalam perkembangan
faham nasionalisme berikutnya, ternyata bung Karno tertarik dengan
nasionalismenya Gandhi. Ketertarikanya d idasarkan pada pemikiran Gandhi yang
memanifestasikan rasa nasionalismenya dengan mencintai manusia dan kemanusiaan
(humanisme), tanpa membedakan ras, suku maupun agama (pendek kata universal).
Dari pemikiran Gandhi ini, kemudian bung Karno menyempurnakan nya lagi, yang
dikemudian hari akan menjadi roh kaum nasionalis Indonesia. Penyempurnaan itu
dilakukan dengan cara menambah dua bagian lagi dari makna nasionalismenya
Gandhi.
Bagian pertama : rasa cinta tanah air harus berdasarkan
manusia dan kemanusiaan (sama dengan Gandhi).
Bagian kedua : rasa cinta tanah air harus bersendikan
pengetahuan atas perekonomian dunia dan riwayat (sejarah). Maksudnya dari
bagian kedua ini, bung Karno menginginkan munculnya rasa nasionalisme bukan
hanya karena pera saan emosional saja, melainkan dari satu kesadaran atas
pengetahuan terhadap sejarah ekonomi dunia yang penuh dengan penindasan dan
eksploitasi.
Bagian ketiga : rasa cinta tanah air Indonesia
bukanlah copy (tiruan) dari nasionalisme barat.
Maksud Sukarno adalah, nasionalisme Indonesia tidak boleh bersifat chauvist sebagaimana yang terjadi di dunia
barat (eropa), sebuah nasionalisme yang hanya didasari semangat memerangi
bangsa lain. Sifat-sifat chauvinisme bangsa eropa ini mengingatkan kita
pada sebuah teori Il Principe (Sang Penguasa) Niccolo di Bernando Machiavelli (1496-1557), seorang filusuf jaman renaissance kebangsaan Italia. Dalam teorinya, ia
mengemukakan bahwa kekuasaan diijinkan menghalalkan segala cara untuk meraih
dan mempertahankan kekuasaannya (cikal bakal teori absolutisme). Bagi Machiavelli, moral dan etika harus
diabaikan dalam persoalan politik dan kekuasaan. Teori inilah yang kemudian
mungkin dijadikan legitimasi dan justifikasi politik kaum imperialis untuk
menjajah negara-negara dunia ke tiga berabad-abad lamanya. Dan sifat
nasionalisme ini pulalah yang membuat tidak pernah damainya eropa akibat
peperangan yang tidak pernah kunjung usai, mulai dari jaman imperium Romawi
sampai dengan perang dunia II. Gold,
Glory n' Gospel menjadi sebuah sl
ogan yang selalu menyemangati setiap peperangan-peperangan di eropa dalam
sebuah perdebatan wilayah.
Dari pemahaman tentang
nasionalisme tersebut di atas, jelaslah bagi kita bahwa nasionalisme Indonesia
ternyata bersifat humanis, revolusioner dan tidak ch auvis. Untuk itulah, maka
bung Karno akan menyalahkan kaum nasionalis jika ia tidak mau bekerjasama
dengan kaum marxis, Islam maupun kelompok lainnya. Karena dengan faham
nasionalisme seperti itu, maka siapapun harus menjadi kawan bagi kaum
nasionalis sel ama kapitalisme menjadi musuh bersamanya dan kemanusiaan menjadi
landasan perjuangannya.
Jika alasan kaum
nasionalis saat ini tidak mau bekerjasama dengan kaum Islam hanya karena alasan
kekhawatiran kaum nasionalis terhadap kaum Islam yang akan membawa-ba wa agama
dalam persoalan politik nantinya, dianggap oleh Bung Karno sebagai sebuah
pandangan yang salah. Sebab Islam yang sebenarnya tidaklah demikian. Justru
Islam (agama) bagi Bung Karno harus dijadikan dasar nation and caracter building, karena
nilai-ni lai agama memang membawa nilai-nilai universal yang humanis dan
transenden. Hanya saja, Islam di Indonesia memang masih belum menunjukkan api
(roh)-nya, karena masih tercampur baur dengan feodalisme. Pandangan Bung Karno
tentang Islam dapat dilihat melalu i artikel-artikel lainnya di DBR I, antara
lain : surat-surat Islam dari
Ende, me-muda-kan pengertian Islam, masyarakat onta dan kapal udara, apa sebab
Turki memisahkan agama dari negara ?, dan
beberapa lagi diantaranya, yang kesemuanya nanti akan kita bedah pula.
Yang paling menarik
adalah artikel berjudul : Apa
sebab Turki memisahkan agama dari negara (DBR
I hal.1-23). Disana secara implisit kita dapat melihat alasan Bung Karno
mengapa ia menolak negara Islam. Ia mencontohkan Kamal Ataturk di Turki yang selalu kesulitan
membangun negaranya akibat ulah tokoh agama yang seringkali melarangnya membuat
kebijakan publik karena dianggap menyalahi agama walaupun kebijakan itu
bersifat menolong rakyatnya. Setiap kali negara mengambil keputusan, selalu
harus mend apat persetujuan terlebih dahulu dari pada ulama untuk ditentukan
apakah sunnah, halal, makruh ataukah haram.
Akibatnya Turki menjadi
tidak dinamis dan sulit berkembang. Bahkan di Saudi Arabia, pernah Ibnu Saud dilarang para ulama mendirikan tiang
radio h anya karena dianggap makruh. Lebih parah lagi, di Turki, pemerintah
juga pernah dilarang mendatangkan para dokter untuk mengobati rakyatnya yang
terkena penyakit pes karena ulama menganggapnya sebagai tindakan melawan
takdir. Akibatnya Islam terpaksa kehi l angan rohnya, bukan karena ajarannya,
melainkan karena para ulamanya yang terlalu takut pada pembaharuan dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itulah kemudian Kamal Ataturk terpaksa memisahkan
agama dari terminologi negara agar dapat mengemb alikan api Islam yang
sesungguhnya.
Itulah pandangan Bung
Karno terhadap Islam dengan cara mencontohkan fenomena negara Turki. Dari sana
dapat kita simpulkan bahwa yang diperlukan dari Islam adalah apinya untuk ikut
membantu nation and caracter
building d engan ajaran moral dan
budi pekertinya yang luhur, humanis, sosialis, anti kapitalis dan sekaligus
transenden (religius). Jadi tidak berupa simbol-simbol kosong belaka, yang
justru malah akan mematikan ajaran Islam itu sendiri. Untuk membuktikan bahwa
aja ran Islam itu humanis, sosialis dan anti kapitalis tersebut Bung Karno
tidak segan-segan mencontohkan pelopor-pelopor pan-Islamisme seperti Sayyid Jamaluddin dan Muhammad
Abduh.
Itulah Islam bagi bung
Karno, dan itulah Islam yang harus dirangkul dan dipel uk sebagai kawan oleh
kaum nasionalis. Kaum nasionalis India saja, yang mayoritas Hindustan, mau
bekerjasama dengan kelompok pan-Islam India seperti Maulana Muhammad Ali dan Syaukat
Ali, apalagi kaum nasionalis Indonesia yang mayoritas sama-sama penganut agama
Islamnya.
**********
Setelah bung Karno
berhasil membedah hubungan antara nasionalisme dan Islamisme, kemudian bung
Karno mencoba membedah hubungan antara nasionalisme dan marxisme. Dalam artikelnya
itu bung Karno secara tegas menerangkan bahwa tida k ada perbedaan yang prinsip
antara kaum marxis dengan nasionalis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa dua
kekuatan itu selalu mampu bersatu. Contohnya adalah sejarah revolusi China
dimana kaum marxis kelompok Mao
Tse Tung dapat bergandengan
tangan dengan Kuomintang yang nasionalis pimpinan Sun Yat Sen melawan dinasti “tiran”Manchu. (mohon diingat : tulisan ini dibuat
sebelum terjadinya perang saudara antara Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek
melawan Kun Chan Tang pimpinan Mao Tse Tung).
Bahkan di Indonesia
sendiri, buruh-buruh yang digerakkan kaum marxis untuk melawan hegemoni modal
Belanda yang tertanam di perusahaan-perusahaan (mascappij) Indonesia, (lihat sejarah pemogokan karyawan
kereta api oleh PKI di Semarang 1923), secara tidak langsung selaras (sinergi)
dengan machtvorming yang dilakukan oleh kaum nasionalis.
Karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menyadarkan rakyat
agar bersama-sama melawan kaum imperialis Belanda. Apalagi dengan adanya
gerakan kaum buruh tersebut, sadar at au tidak, semangat nasionalisme telah
tercipta dengan bersatunya kaum buruh Indonesia. Disini semakin jelas terlihat
bahwa tidak ada persoalan yang prinsip bagi kaum nasionalis dan marxis untuk
tidak saling bekerjasama. Bahkan secara tidak sadar dua kekua tan tersebut
telah saling bahu-membahu dan dukung mendukung dalam satu proses perjuangan
nasional.
Jika alasan kaum
nasionalis tidak mau bekerjasama dengan kaum marxis hanya karena anggapan bahwa
kaum marxis telah berkhianat karena telah mau bekerjasama d engan bangsa barat,
dianggap sebagai satu hal yang salah kaprah oleh bung Karno. Disini bung Karno
menegaskan, bahwa lawan sebenarnya adalah sistem (stelsel), bukan orangnya. Apalagi
bangsa barat yang bekerjasama dengan kaum marxis Indonesia adalah bangsa-bangsa
penganut marxis pula yang saat itu tergabung dalam commintern, jadi bukan bangsa bule yang
menganut stelsel kapitalisme. Bagi bung Karno, siapapun
orangnya, tidak peduli bangsa asing ataukah pribumi, jika ia kapitalis tentu
saja akan menjadi musuh bersama (lihat artikel : kapitalisme bangsa sendiri, DBR I hal.181).
Namun bung Karno juga
menyalahkan pandangan kaum marxis yang menganggap kaum nasionalis adalah kaum
yang berpikiran sempit yang hanya memikirkan bangsanya sendiri ketimbang
seluruh bangs a di dunia. Jelas pandangan ini tidak benar, karena memang
nasionalisme Indonesia tidakchauvist. Nasionalisme Indonesia justru sangat
humanis, dimana nilai-nilai kemanusiaan (zonder
exploitation de lhomme par lhomme) dan
perdamaian abadi (zonder
exploitation de nation par nation) menjadi
roh dan cita-citanya. Dan secara prinsip cita-cita kaum nasionalis ini ternyata
tidak bertentangan dengan cita-cita kaum marxis itu sendiri, yang menginginkan
terwujudnya sosialisme dunia melalui internationale-nya.
************
Setelah membedah
hubungan nasionalisme dan marxisme, yang terakhir, bung Karno mencoba membedah
hubungan antara Islamisme dan marxisme. Secara lugas bung Karno dapat
menjelaskan bahwa ajaran-ajaran pokok marxisme pada dasarnya tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, justru sebaliknya malah sesuai dengan apa yang diajarkan
oleh Islam itu sendiri.
Salah satu hal yang
dikemukakan bung Karno adalah tentang masalah “teori
nilai lebih” (surplus
value/meewaarde). Nilai lebih ya ng selama ini menjadi dasar pemikiran kaum
marxis dalam upaya memperjuangkan kaum buruh tersebut pada dasarnya tidak jauh
beda dengan apa yang diistilahkan denganriba dalam
hukum Islam. Teori nilai lebih
itu menjelaskan bagaimana nilai kerja yang dikeluar kan kaum buruh tidak
sebanding dengan upah yang ia peroleh. Sebaliknya keuntungan dapat diperoleh
secara berlipat-lipat oleh para pemilik modal. Inilah faktor keadilan yang
digagas Marx dalam konsep teori nilai lebih itu. Dan menurut pandangan hukum
Islam , nilai lebih atau riba,
atau mengambil keuntungan dari yang bukan haknya, adalah satu hal yang dilarang
oleh agama. Dan bung Karno menyitirnya dari salah satu ayat Al-Qur’an (al-Imran
129).
Lontaran bung Karno ini
sama persis dengan apa yang dilontarkan oleh Tjokroaminoto dalam salah satu
tulisannya yang juga mencari kesamaan antara Islam dan marxisme (1924). Hanya
saja, Pak Tjokro sedikit menambahkan persamaan lagi yaitu mengenai tujuan
marxisme untuk menghentikan penindasan dengan cara memerdekakan par a buruh.
Apa yang selama ini menjadi perjuangan kaum marxis itu pada dasarnya juga
menjadi tujuan Islam dalam menjalankan hablum
minannas-nya. Kaum Islam adalah kaum yang anti perbudakan. Bukti dari kaum
Islam anti perbudakan itu, kita dapat melihatnya dari tindakan Nabi Muhammad
saw sendiri yang telah memerdekakan seorang budak agar dia terhindar dari
penindasan. Dari sini nampak bahwa apa yang dilakukan dan menjadi cita-cita
kaum marxis sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam, walaupun
cara-car anya tetap ala kaum marxis sendiri.
Bung Karno mengakui
bahwa antara kaum Islam dan kaum marxis tetap memiliki perbedaan, khususnya
mengenai asasnya. Jika Islam berasaskan spiritualisme, marxisme berasaskan
materialisme. Namun bagi bung Karno perbedaan it u tidaklah menjadi halangan,
selama cita-citanya adalah sama-sama sosialis dan musuhnya sama-sama kapitalis.
Jika saat ini kaum
Islam enggan bekerjasama dengan kaum marxis karena alasan kaum marxis atheis,
bung Karno mencoba meluruskannya bahwa kaum marxis pada dasarnya tidak atheis. Image atheis itu pada dasarnya tidak lebih
sebagai implikasi propaganda kaum gereja yang sengaja mengaburkan antara faham wijgerig-materialisme dengan histories-materialisme. Padahal secara substantif keduanya
memiliki arti yang sangat berbeda.Wijgerig-materialisme adalah cara berpikir untuk mencari
tahu dimanakah pikiran itu berasal, sementara histories-materialisme mempelajari pertumbuhan pemikiran
manusia. Namun kaum gereja sengaja mencampur adukkannya sehingga kemudian
menimbulkan image bahwa kaum marxis adalah kaum yang
men-Tuhan-kan materi dengan cara menyembah benda. Benda adalah segala-galanya
dan keberadaan Tuhan sengaja dinegasikan.
Bagi bung Karno itu
tidak benar, sebab historis
materialisme yang dikemukakan Hegel yang kemudian disempurnakan oleh Marx melalui
materialisme dialektikanya hanyalah sebuah pisau analisis saja dalam upaya
membedah persoalan-persoalan penghisapan dalam kehidupan manusia yang tidak
bisa dilepaskan dari masalah ekonomi. Sehingga dengan pisau analisis histories materialisme tersebut maka lahirlah sebuah teori
baru yang mengupas penyebab penindasan kaum buruh dengan melahirkan teori nilai
lebih (surplus value/meewaarde) dan prediksi dari implikasi penindasan
tersebut(verelendung).
Polemik persepsi apakah
komunisme atheis atau tidak, kita dapat meruntutnya dari kronologi sejarah
pemikiran materialisme, mulai dari George
Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Ludwig Feurbach (1804-1872) dan Karl Marx sendiri (1818-1883). Jika mau jujur,
adalah Feurbach yang paling radikal mengkritik agama.
Kritik Feurbach ini disebabkan pada ketidakpuasannya
pada Hegel. Bagi Feurbach, pemikiran Hegel yang menyatakan bahwa segala
perbuatan, pemikiran dan tingkah laku manusia adalah kehendak “roh semesta” (Tuhan), dan manusia dianggap seperti
wayang dan Tuhan adalah dalangnya, oleh Feurbach dianggap tidak rasional. Pemikiran
Hegel itu ditentang Feurbach karena menurutnya Tuhan itu hanyalah
replika angan-angan manusia. Dan agama adalah pikiran-pikiran ideal manusia
tentang hakekatnya. Feurbach tidak setuju jika manusia menyembah
Tuhan yang direkayasanya sendiri. Menurut Feurbach,
jika manusia ingin lepas dari keterasingannya, manusia harus meniadakan agama,
dan tidak perlu menyembah Tuhan, dialah yang harus menjadi Tuhan atas dirinya
sendiri agar bisa menjalankan hakekat yang diyakininya.
Pemikiran Feurbach ini kemudian disempurnakan oleh Marx. Menurut Marx, tidak ada gunanya mengkritik
agama, sebab nilai-nilainya mengajarkan kebaikan. Hanya saja menurut Marx, nilai-nilai tersebut tidak
diwujudkan, melainkan disembah dan diharapkan berkahnya. Oleh karena itu Marx lebih
sepakat mengkritik struktur masyarakat ketimbang agama. Kenapa manusia tidak
menjalankan hakekatnya sebagaimana ajaran agama yang diyakininya ? Kenapa
manusia hanya menyembah dan mengharap berkah dan menunggu takdir ? Itulah yang
dicari Marx dalam struktur sosial.
Pemikiran Feurbach yang disempurnakan Marx inilah
yang kemudian dijadikan senjata kaum gereja untuk memvonis komunis atheis. Dan propaganda
kaum gereja ternyata efektif sehingga persepsi yang sengaja dibuat salah itu
telah terlanjur menjadi persepsi umum masyarakat eropa, sehingga imagenegatif itu tetap tidak dapat
dihapuskan, bahkan menjalar sampai ke Indonesia. Akibat ulah kaum ge reja
inilah yang kemudian membuat kaum marxis menjadi dendam dan semakin benci
terhadap kaum gereja. Namun bagi bung Karno, kebencian kaum marxis tersebut
tidak boleh digeneralisasi dengan keberadaan agama Islam di Indonesia. Sebab
agama Islam di Indonesi a bukanlah agama Katolik di eropa yang menjadi penguasa
dan berkuasa, melainkan tertindas dan ditindas. Sehingga tidak perlu kaum
marxis Indonesia ikut-ikutan membenci dan memusuhi kaum Islam Indonesia. Begitu
pula sebaliknya, kaum Islam Indonesia tidak pe rlu lagi membenci kaum marxis
Indonesia karena mereka memang bukan atheis, justru mereka mayoritas muslim,
apalagi cita-cita dasarnya sama-sama sosialis dan musuhnya juga sama-sama
kapitalis.
Itulah pokok-pokok
pikiran bung Karno yang mencoba menghubungkan tiga kekuatan besar tersebut :
nasionalisme dan marxisme, nasionalisme dan Islamisme, Islamisme dan marxisme.
**************
Setelah melihat isi
pokok dari artikel berjudul nasionalisme,
Islamisme, marxisme, ada baiknya
pula jika kita sedikit menengok sejarah pada tahun 20-an, tahun dimana tulisan
itu digulirkan oleh Bung Karno. Di akhir tulisan, bung Karno sempat memunculkan
tiga nama yang dianggap representasi tiga kekuatan, yaitu : Oemar Said
Tjokroaminoto, Sema’oen dan Tjipto Mangunkusumo.
Tjokroaminoto mewakili
kelompok Islam melalui Sarekat Islam (SI) yang berdiri sejak 1912. Sema’oen
mewakili kaum marxis melalui Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berdiri sejak
1920 dari rahim de Indische
Sociaal Democratiesce Vereeniging (ISDV
1917). Dan terakhir Tjipto Mangunkusumo yang mewakili kelompok nasionalis
melalui Boedi Oetomo yang berdiri sejak tahun 1908.
Hubungan kerjasama
antara kekuatan-kekuatan tersebut pada dasarnya telah terjalin sejak masa
1920-an, khususnya antara kaum marxis (PKI) dan Isl am (SI). Untuk kaum
nasionalis (Boedi Oetomo), saya kesulitan mencari referensinya sehingga tidak
bisa menceritakan sejauh mana hubungan Boedi Oetomo dengan PKI maupun SI.
Justru yang banyak diceritakan dalam cuplikan sejarah adalah figur bung Karno sendi
r i dalam sepak terjangnya memberikan gagasan-gagasan nasionalisme. Sebenarnya
bagi saya, yang lebih pantas merepresentasikan kaum nasionalis pada tahun 20-an
itu adalah bung Karno bukan Boedi Oetomo. Sebab di tahun-tahun itu, bung Karno
banyak sekali mengu k ir sejarah, diantaranya pendirian Partai Nasional
Indonesia (PNI) tahun 1927 dan pencetusan Sumpah Pemuda 1928 dalam Kongres
Pemuda II. Namun jika kawan-kawan lain ada yang lebih lengkap referensinya,
mungkin dapat pula menulisnya sebagai bahan kajian kit a bersama. Dan kembali
kepada pokok persoalan, karena keterbatasan referensi itu, maka saya mohon maaf
jika hanya mampu menceritakan kronologis sejarah antara PKI dan SI saja.
*************
Beberapa catatan
sejarah menyatakan bahwa hubungan antara PKI dan SI telah terjalin erat sejak
tahun 1917, terutama sejak berdirinya de
Indische Sociaal Democratiesce Vereeniging (ISDV),
partai sosialis yang pertama kali berdiri di Indonesia oleh orang-orang Belanda
yang bekerja di Indonesia. Namun versi sejarah menyat akan bahwa kedekatan PKI
dan SI saat itu, tidak lebih dari keteledoran SI yang telah disusupi ideologi
marxis. Kedekatan SI dengan kaum marxis inilah yang kemudian membuat SI
terpecah menjadi dua yaitu “SI
merah” dan “SI putih”. Orang-orang yang selama
ini merangkap keanggotaan dalam SI dan PKI, setelah terkena disiplin partai
oleh Tjokroaminoto, akhirnya dikeluarkan dari SI. Orang-orang yang dikeluarkan
tersebut mereaksinya dengan cara mendirikan SI merah (SI yang berbau marxis)
dengan tokoh-tokohnya sepe rti Sema’oen, Mas Marco Martidikoro dan Haji
Misbach, yang poros gerakannya dipusatkan di Semarang Jateng. Namun keberadaan
SI merah ini tidak bertahan lama, karena Sema’oen sebagai tokohnya ternyata
lebih aktif di PKI, karena ia memang memiliki anggota rangkap baik di SI maupun
PKI. Mas Marco sendiri kemudian lebih memilih meneruskan aktifitasnya sebagai
jurnalis dalam surat kabar Doenia
Bergerak yang ia pimpin.
Hubungan PKI dan SI
resmi putus sejak tahun 1923 yang diinisiatifi oleh PKI sebagai reaksi atas
program disiplin partai yang diterapkan Tjokro pada seluruh anggota SI. Sikap
PKI yang mulai ekslusif dan tidak mau bekerjasama dengan kekuatan nasional
lainnya ini pada dasarnya terletak dari kepongahan pimpinan PKI itu sendiri
(Alimin, Muso dan Sema ’oen).
Kepongahan itu muncul karena doktrin PKI sendiri yang harus menjadikan PKI
sebagai partai pelopor (avantgarde) dan harus menjadi satu-satunya partai
yang boleh hidup bila mereka berkuasa nanti, sebagaimana ajaran
marxisme-leninisme yang mendominasi alir an di tubuh PKI. Dengan sikap doktrin
seperti itu, jelas PKI menganggap tidak perlu beraliansi dengan kekuatan lain
yang mestinya dapat ia jadikan kawan.
Sikap doktrin seperti
ini sebenarnya dianggap salah oleh Datuk
Sutan Ibrahim atau cukup dikenal
denga n nama Tan Malaka (1896-1949). Sebab menurut Tan, doktrin itu yang
menyebabkan kaum marxis susah merebut kekuasaan karena telah mengabaikan
kekuatan-kekuatan lainnya, khususnya kekuatan pan-Islamisme yang pada saat itu
juga mulai mencuat di Asia melawan i mperialisme. Sikap dari pemikiran Tan yang
menentang kebijakan PKI ini sebenarnya sangat wajar, mengingat Tan saat itu
memang sedang aktif dalam commintern mewakili Asia Tenggara. Dan di commintern saat itu memang sedang
gencar-gencarnya terjadi perdebatan konsep dalam upaya merevisi marxisme.
Perevisian konsep
marxisme tersebut bermula dari gagasan Antonio
Gramsci (1891-1937), pendiri
Partai Komunis Italia tahun 1921, yang kemudian dituangkan dalam salah satu
bukunya Prison Notebooks. Pada prinsipnya Gramsci menyampaikan
betapa pentingnya partai komunis beraliansi dengan partai lain untuk
bersama-sama merebut kekuasaan dari tangan kapitalis. Konsep partai tunggal
sebagaimana diteorikan Vladimir
Ilyits Ullianov yang kemudian
dikenal dengan nama V.I. Lenin (1870-1924) oleh Gramsci dianggap sudah tidak
relevan lagi dan justru menyulitkan gerakan kaum komunis. Bagi Gramsci,
kekuasaan lebih mudah direbut dengan cara beraliansi dengan kekuatan lain
melalu i sistem parlementer.
Pemikiran Gramsci
inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai awal bangkitnya komunisme baru dalam Internationale III yang berhasil merevisi dan memperbaiki
marxisme, yang kemudian mengidentifikasikan dirinya dengan menyebut “erokomunisme”. Lebih lengkapnya,
tentang perubahan-perubahan konsep marxisme ini kawan-kawan dapat mencermati
pemikiran-pemikiran yang pernah dilontarkan oleh Rosa Luxemburg, Eduard Bernstein,
Vladimir Lenin, Karl Kautsky dan Antonio Gramsci, yang pada akhirnya
memunculkan perdebatan panjang diantara mereka sendiri.
Erokomunisme ternyata
juga dapat dibaca dan ditangkap oleh bung Karno. Di dalam artikelnya, ia
menyambut positif perubahan komunisme itu. Bagi bung Karno, perevisian itu
dianggap sebagai satu langkah m aju, karena Marx memang bukan seorang dewa,
yang ajarannya harus bersifat absolut-dogmatis, melainkan harus terus direvisi
agar dapat dinamis sesuai perubahan dan perkembangan jaman. Dengan perubahan
itulah, maka wajar jika Sukarno mengkritik PKI yang tid ak mau bekerjasama
dengan kekuatan nasional lainnya, padahal partai-partai komunis di eropa
(barat) telah melakukannya.
Satu-satunya tokoh PKI
yang sepakat dengan perubahan konsep marxisme hanyalah Tan Malaka. Bahkan di
tahun 1921, Tan telah mengeluarkan sebuah tulisan berjudul Sovyet atau Parlemen, yang intinya hampir sama dengan pokok
pikiran Gramsci, bahwa sistem parlementer jauh lebih baik daripada sistem
partai tunggal soviet. Tentang sifat elitisme di tubuh PKI, Tan sudah
seringkali menganjurkan kepad a tokoh-tokoh PKI lainnya agar mau beraliansi dengan
partai-partai lain, terutama kekuatan pan-Islamisme Indonesia yang saat itu
diwakili Sarekat Islam. Bahkan Tan sangat menyesalkan tentang putusnya hubungan
PKI dan SI di tahun 1923.
Namun apa yang
dianjurkan oleh bung Karno maupun Tan Malaka, tampaknya tidak mampu
menggoyahkan sikap Sema’oen dan kawan-kawannya, karena doktrin Sovyet dengan
sistem diktatuur proletariat (tepatnya diktatuur partai) telah terlanjur
berhegemoni dalam pikirannya. Bahkan pesona keberhasilan revolusi Oktober 1917
kaum Bolsyevik dalam perjuangan bersenjata melawan rejim Tsar, telah
mengilhaminya untuk melakukan pemberontakan PKI di tahun 1926. Keputusan untuk
memberontak ini ditentang keras Tan Malaka, sebab Tan tahu bahwa Sema ’oe n dan kawan-kawannya telah buta
matanya terhadap faktor obyektif yang ada dalam masyarakat karena telah
tertutup oleh faktor subyektif (ideologis) yang berlebihan. Sehingga Tan
menganggap tindakan itu tidak lebih sebagai tindakan yang bersifat advonturir
dan kekanak-kanakan.
Namun pemberontakan
tetap dilaksanakan, dan ternyata memang gagal. Alimin, Muso, Darsono dan Sema’oen
berhasil melarikan diri ke Rusia. Namun ratusan ribu tetap ditangkap dan
dibuang ke Digul, Tanah Merah, Irian Jaya (Papua). Atas keka lahan PKI itu,
maka Tan Malaka memutuskan untuk mendirikan partai lagi yang diberi nama Partai
Republik Indonesia (PARI) di tahun 1927, bersama-sama Subakat dan Jamaludin
Tamim. Dan pada tahun 1948 kemudian, Tan Malaka kembali mempromotori
pembentukan Par tai MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak) yang didukung kader-kader
mudanya, Chaerul Saleh, Sukarni dan Adam Malik..







0 komentar:
Posting Komentar