Selasa, 02 Februari 2016
Pahlawan Revolusi Yang Terlupakan (TAN MALAKA)
TAN MALAKA, Biografi Terbesar Pahlawan Terlupakan dalam Sejarah Indonesia yang Dihargai di Eropa!
Karya Harry Poeze yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 sungguh luar biasa dari segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194 halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda, tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah modern Indonesia.

Dalam lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri yang namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa. Sehingga tak heran jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus Direktur KITLV Belanda, menulis disertasi mengenai Tan Malaka pada tahun 1976 yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam dua jilid. Poeze kemudian melanjutkan buku kisah perjalanan hidup Tan Malaka ini sampai akhir hayatnya pada 1949, yang dalam buku tersebut diungkap mengenai lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur dan siapa yang menembaknya.
Penelusuran Poeze ternyata tidak hanya berhenti disitu, pada 8 Juni 2007 lalu, di Universitas Leide Belanda, Poeze meluncurkan buku yang berjudul ‘Verguisd en Vergeten, Tan Malaka; De linkse Beweging en Indonesische Revolutien 1945-1959’. Buku setebal 2194 halaman ini di jual seharga 99,90 euro di Eropa, dan cukup mendapat apresiasi dari halayak pembaca.[/SIZE]

Pejuang antikolonialisme
Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.
Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.
Ia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh ( Vietnam).
Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.
Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.
Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.
Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.
Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.
Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.
Temuan baru
Banyak penemuan baru yang terdapat dalam buku Tan Malaka yang terakhir ini. Sejarah revolusi Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman. Poeze menggunakan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa.
Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada "Paduka Tuan" Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis "saya menjamin keselamatan Pak Djoko". Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun.
Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika.
Menurutnya, pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung Malaya atau bahkan dunia.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an.
Dalam penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-foto sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September 1945, yang dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen historis penting. Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana. Tentara Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat mengadakan rapat lebih dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu dirancang pemuda untuk memperlihatkan dukungan rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu untuk menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara Jepang melakukan penembakan massal terhadap penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan Soekarno berpidato beberapa menit.

Poeze sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia menemukan seseorang yang memakai helm di dekat Bung Karno ketika berpidato. Bahkan, pada salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan berdampingan. Setelah membandingkan berbagai foto itu, berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok karena tinggi Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65 meter.
Mengenal Tan Malaka
Mengenal Tan Malaka
Siapa Tan Malaka ?
Tan Malaka adalah Tokoh yang cukup kontroversial baik dikalangan akedemisi, pergerakan,maupun elit politik di Indonesia dan bahkan di beberapa Negara yang pernah dikunjunginya.
Ibrahim gelar datuk Tan malaka atau yang lebih dikenal dengan Tan Malaka adalah salah seorang Putra Minangkabau yang sangat berpengaruh dalam pergerakan di indonesia. Menurut Harry A. Poeze yang bertahun-tahun menghabiskan waktu untuk meneliti sosok dari Tan Malaka. Tan Malaka lahir tahun 1894, disebuah Nagari kecil Pandan Gadang, Suliki, daerah pedalaman Minangkabau, Sumatera Barat. Ia juga merupakan salah satu orang Indonesia pertama yang melanjutkan studinya ke Belanda.
Orang tua dari tan Malaka tergolong kaum Bangsawan lokal, tapi dalam hal kepemilikan dan kedudukan tidak banyak beda dari penduduk sesamanya. Sejalan dengan Garis Matrilineal diminangkabau, ia diwariskan Gelar Adat yang terhormat Datuk Tan Malaka, jadilah namanya Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Anak dari pasangan Rasad Chaniago dan Sinah Sinabur ini Sebagian besar hidupnya dihabiskan diluar negeri. Setelah tamat dari Kweekschool Bukit Tinggi pada umur 16 tahun, pada Tahun 1913 Tan Malaka melanjutkan sekolah ke Belanda sebagai Siswa disekolah guru Rijkskweekschool, Haarlem, Belanda. Semasa inilah pemahaman mengenai politiknya mulai berkembang, Tan Malaka tidak bisa menghindar dari situasi politik dimasa itu, ia mulai membaca buku karangan Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Vladimir Lenin. Tan Malaka bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal dari-Democratische Vereeniging (ISDV, pendahulu dari Partai Komunis Indonesia)
![]() |
| Tan Malaka Muda |
Setelah enam tahun dibekali pengetahuan politik di Belanda, Pada November 1919 Tan Malaka memutuskan untuk pulang ke Indonesia dengan cita-cita mengubah nasib bangsa Indonesia. Tahun 1921 merupakan awal kiprah Tan Malaka didunia politik, ia bergabung dengan SI ( Serikat Islam ) disemarang bersama Semaun, keduanya sepakat untuk mendirikan sekolah rakyat. Pada masa itu Serikat Islam sedang mengalami perseturuan antara fraksi islam dan komunis, hingga akhirnya partai tersebut terpecah dan Tan Malaka ikut dengan Darsono. Beberapa bulan kemudian Tan keluar dari partai akibat paham yang tidak sejalan.
Pada 2 Maret 1922, Tan Malaka ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda atas tuduhan sebagai dalang pemogokan buruh pelabuhan. Hal tersebut memaksa Tan untuk kembali ke Belanda namun bukan sebagai pelajar melainkan sebagai orang buangan. Oleh kawan-kawannya separtai Tan disambut sebagai martir dari Kolonialisme Belanda, Tan segera diletakkan pada tempat ketiga dalam daftar kaum komunis untuk pemilu anggota tweede Kamer (Parelemen) bulan juli 1922 sebagai calon Indoensia yang pertama. Namun Tan tidak terpilih karena partainya hanya mendapat dua kursi. Disurat kabar Komunis dan brosur berbahasa indonesia Tan Malaka menulis panjang lebar tentang Pengasingannya.
![]() |
| Perjalanan Tan Malaka |
Dari Belanda Tan melakukan perjalanan ke Moskow, disana Tan Malaka Tampil sebagai wakil Indonesia pada kongres Komintern bulan November 1922. Dalam kongres ini Tan Malaka menyampaikan pidato yang sia-sia karena mengajukan masalah kerja sama antara komunisme dengan panislamisme, dan pendapatnya itu tidak diakui sebagai berpotensi revolusioner. Komintern memberikan tugas baru kepada Tan Malaka dalam tahun 1923 yaitu, sebagai wakil komintern untuk Asia Tenggara dengan kewenangan yang luas sepanjang tentang urusan partai, kelompok, dan Tokoh-tokoh dikawasan itu. Sebagai basis Tan memilih Kanton,Cina.
Dari jarak jauh, Tan Malaka juga ikut campur dalam urusan perkembangan PKI di Indonesia. Tahun 1925 di kanton, Cina, Tan Malaka menulis buku yang memuat konsep republik yang berjudul Naar de 'Republiek Indonesia' ( Menuju Republik Indonesia ), karena buku itulah Tan Malaka mendapat gelar Bapak Republik Indonesia. Tan Malaka lah orang pertama yang menulis konsep republik untuk Indonesia jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928),dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Awal tahun 1926, disalah satu daerah di Singapura Tan Malaka menulis buku yang berjudul “Massa Actie”. Buku Naar de Republiek dan Massa Actie yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.
W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat "Indonesia tanah tumpah darahku" ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk "Khayal Seorang Revolusioner". Di situ Tan antara lain menulis, "Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya."
Pada tahun 1942 Tan Malaka kembali ke Indonesia untuk melanjutkan perjuangannya. Diseputar Proklamasi Tan menorehkan perannya yang penting. Menurut Harry A. Poeze, Tan Malaka lah orang dibalik peristiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, Jakarta, yang terjadi pada tanggal 19 September 1945. Diantara ratusan ribu massa yang mendatangi lapangan tersebut tampak sesosok pria memakai topi perkebunan berjalan berdampingan dengan Presiden Soekarno, sosok tersebut diyakini Harry A. Poeze berdasarkan ciri-ciri yang telah ia teliti selama bertahun-tahun. Harry A. Poeze mengatakan “Tan memakai topi perkebunan sejak di Filipina (1925-1927), membawa dua setel pakaian dan memiliki tinggi 165 cm.
Pada 9 September 1945 Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mencari Tan Malaka, pertemuan antara Soekarno dan Tan Malaka pun diatur dan dirahasiakan. Dalam pertemuan itu Soekarno mengatakan"Jika nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya harap Saudara yang melanjutkan." Sebelum menutup pertemuan, Soekarno memberi Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti melik itu ditulis dalam kolom Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan, September 1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi, Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan.
Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas kehormatan dan tanda kepercayaan. "Saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya idamkan," katanya.
Niat mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet pada pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka mewakili aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah, Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman representasi kelompok Islam. Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.
Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut
kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta
juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.
Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga. Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi menghambat penyampaian teks itu.
Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas usul Djohan Syahruhzah-belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia-Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan.
Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa ditemani Djohan. "Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum retak," kata Hadidjojo. Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua kubu itu rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan Perjuangan 141 organisasi (Masyumi, PNI, Parindra, PSI, PKI, Front Rakyat, PSII, tentara, dan unsur laskar) di Purwokerto, 4-5 Januari 1946. Sudirman hadir sebagai unsur tentara. untuk mengambilalih kekuasaan dari tentara sekutu.. Tan menentang kebijakan diplomasi yang dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir. Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Ia bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara lain.
![]() |
| Tan Malaka berpidato pada kongres Persatuan perjuangan |
Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi kepada Tan Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan itu. Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan pemberian testamen, tapi batal, akhirnya Soekarno sendiri yang membakar tastemen tersebut. Setelah dua tahun Tan ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan. Tapi bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal. Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, Jawa Tengah.
Setelah Tan dibebaskan, Tan mendirikan partai Murba bersama Sukarni pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Partai ini menjadi Partai terakhirnya. Tan juga bertemu dengan Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal. Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi Tan memutuskan pergi ke Kediri.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati oleh pasukan TNI pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
Setelah terjadi pembunuhan terhadap Tan Malaka, Hatta memberhentikan Sungkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Surachmat sebagai Komandan Brigade karena kesembronoan mengatasi kelompok Tan Malaka,dan berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani PresidenSoekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Review Buku “Civic Culture” Karya Gabriel Almond dan Sidney Verba
Review
Buku “Civic Culture” Karya Gabriel Almond dan Sidney Verba
Seiring dengan perkembangan zaman,
adanya era globalisasi dengan kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi yang
signifikan dan cepat membuat wajah perpolitikan dunia juga mengalami banyak
perubahan. Bahkan sejak akhir Perang Dunia II, perpolitikan dunia mengalami
banyak pergeseran yang memunculkan pola-pola sistem politik baru, seperti
sistem yang partisipatoris dengan karakter dan budaya di dalamnya. Sistem
partisipatoris ini tidak bisa dipisahkan dari adanya nilai-nilai demokrasi yang
menyebar di seluruh dunia, hingga bisa disebut sebagai sistem politik universal
dewasa ini. Namun, proses demokratisasi ini sendiri tidak berjalan tanpa
masalah. Dalam tulisan Gabriel A. Almond dan Sidney Verba (1963) yang berjudul
“Civic Culture” menjelaskan bahwa rangkaian peristiwa yang berlangsung sejak
Perang Dunia II telah meninggalkan permasalahan tentang masa depan demokrasi
pada skala dunia, serta bagaimana kebudayaan politik dilaksanakan di berbagai
negara.
Almond dan Verba juga menjelaskan
mengenai beberapa poin penting dalam kebudayaan politik demokrasi di beberapa
negara. Poin pertama yang disampaikan adalah sifat kebudayaan demokratis itu
sendiri. Ide-ide besar demokrasi adalah kebebasan individual dan prinsip
pemerintahan dari rakyat. Oleh karena itu, partisipatoris menjadi penting untuk
merealisasikan ide-ide besar tersebut, yaitu signifikansi peran serta rakyat
dalam sistem politik. Demokrasi juga mempelajari tentang perilaku dan perasaan
individu, sehingga faktor ini membuat demokrasi sukar untuk dipelajari (Almond
& Verba, 1963). Poin kedua adalah demokrasi mengkonfrontasikan orang-orang
dari belahan dunia lain, seringkali demokrasi terlalu ditekan dengan
rasionalnya. Harold Laswell menyumbang ide, paling tidak ada 5 kriteria
karakteristik manusia demokratis : (1) ego yang mau untuk “terbuka” dengan
manusia lain, (2) kemauan untuk berbagi nilai dengan manusia lain, (3) percaya
dan percaya diri dengan lingkungan pergaulannya, (4) mau menilai sesuatu dari
banyak nilai, dan (5) bebas dari kegelisahan. Walaupun demikian, bukan berarti
kriteria Laswell ini akan kokoh apabila dihadapkan dengan masyarakat lain,
misalkan masyarakat dengan kebudayaan dan adatnya kuat yang umumnya tak
demokratis.
Budaya politik (civic
culture) sendiri merupakan suatu kultur yang tidak bersifat
tradisional maupun modern, melainkan bagian dari keduanya. Maksudnya, budaya
politik merupakan kebudayaan majemuk yang didasarkan pada komunikasi dan
persuasi, budaya konsensus dan diversitas, serta adanya perubahan (Almond &
Verba, 1963). Budaya politik ini juga erat kaitannya dengan sikap dan tingkah
laku individu dalam sistem politik. Rokkan dan Campbell menilai bahwa masalah
ini lebih fokus terhadap individu, sikap-sikap motivasi politiknya, atau lebih
dikenal dengan teori pada level micropolitics. Micropolitics ini
merupakan antithesis dari pendekatan riset macropolitics yang
lebih banyak membicarakan mengenai struktur dan fungsi sistem-sistem politik,
lembaga-lembaga politik, dan unit-unit politik serta pengaruhnya terhadap
kebijakan umum (Almond & Verba, 1963). Namun, ketika penelitian dilakukan
dengan meletakkan perhatian khusus terhadap kondisi psikologis yang
mempengaruhi sikap-sikap para pemangku kebijakan atau wewenang dan otoritas,
hal ini gagal untuk mengetahui pola hubungan antara tendensi psikologis
individu dan kelompok dengan proses dan struktur politik. Oleh karena itu,
Almond dan Verba (1963) menawarkan mata rantai penghubung antara makro dan
mikro politik, yakni kebudayaan politik. Psikologi politik individu dan sistem
politik dapat dihubungkan dengan cara menetapkan kecenderungan sikap dan
tingkah laku dalam struktur politik dari sistem tersebut. Oleh karena itu,
merujuk pada tulisan Almond dan Verba tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
teori Civic Culture yang terdapat dalam tulisan Almond dan
Verba (1963) tersebut adalah teori level meso. Menurut Neuman, teori level meso
adalah teori yang menghubungkan level mikro dan makro.
Studi perbandingan tentang
kebudayaan politik dalam buku Almond dan Verba (1963) ini mencakup lima negara
demokrasi, yaitu Amerika Srikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko. Kelima
negara ini diambil sebagai sample penelitian karena memiliki pengalaman sejarah
dan politik yang cukup luas. Amerika Serikat dan Inggris dipilih karena
keduanya menunjukkan pemerintahan dengan sistem demokrasi yang sukses. Beberapa
ahli politik mengkaju tentang politik Inggris dengan memberi tanggapan terhadap
sikap-sikap tradisional dan otoritas di negara tersebut. Dalam perkembangan
sejarah Inggris, budaya demokratis warga negaranya menekankan pada inisiatif
dan partisipasi yang dibaurkan dengan kebudayaan politik lama yang menekankan pada
kewajiban dan hak warga negara tersebut. Sementara pendapat lain mengatakan
bahwa kebudayaan politik Inggris merujuk pada perpaduan antara rasa hormat
terhadap otoritas dan hak-hak inisiatif warga negara. Sementara di Amerika
Serikat, pemerintahan dijalankan secara berdaulat dan bebas tanpa adanya
lembaga-lembaga tradisional maupun para aristrokat yang memiliki hak istimewa
(Almond & Verba, 1963). Fungsi pemerintahan cenderung dibatasi, ada
penolakan terhadap konsepsi fungsi pemerintahan yang bersifat otoritatif. Pola
kekuasaan dalam sistem sosial di Amerika Serikat cenderung menekankan
kompetensi dan partisipasi politik daripada kepatuhan terhadap kekuasaan yang
sah. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa warga negara Inggris lebih mungkin
memiliki orientasi subyek dan partisipasi yang setia dan bersatu dalam sistem
politik daripada warga negara Amerika Serikat.
Sementara itu, Jerman dipilih
sebagai salah satu sample penelitian karena secara relative telah mengalami
masa pemerintahan yang efektif dalam jangka panjang dan sah sebelum
diperkenalkannya demokrasi. Berbagai kegiatan yang melibatkan partisipasi
demokrasi dilaksanakan pada akhir abad ke-19, serta pada masa pemerintahan
Weimar budaya politik partisipan tidak pernah dikembangkan. Hampir sama dengan
Inggris, Jerman memiliki penghormatan terhadap kekuasaan yang tumbuh dari
pengalaman sebelum demokrasi berkembang disana dari pengalaman panjang dengan
pemerintahan otoriter. Perbedaan Jerman dan Inggris adalah kontrol pemerintahan
Jerman pada periode sebelum demokrasi jauh lebih utuh dan lengkap daripada
Inggris.
Berbeda halnya dengan Italia dan
Meksiko. Kedua negara tersebut diambil sebagai sample penelitian sebagai contoh
masyarakat yang kurang maju dan memiliki sistem-sistem politik transisi. Dalam
sejaah politik Italia, kebudayaan politik yang rasional tidak pernah
dikembangkan. Sebelum Perang Dunia I, kekuasaan monarki sempat ditentang oleh
Gereja, yaitu orang-orang Kristen menolak untuk memberikan persetujuan kepada
negara baru dan menolak untuk berpartisipasi dalam proses-prosesnya. Selain
itu, adanya rezim Fasis mengembangkan birokrasi dan pemerintahan yang penuh
dengan pemaksaan fisik daripada pengembangan kebebasan berpendapat. Menurut
Banfield, kebudayaan politik Italia terdiri atas unsur-unsur parochial yang
sangat ekstrim. Kecenderungan demokrasi memang ada, namun lebih terpusat pada
kekuatan kiri dan secara relative sangat lemah bila dibandingkan dengan
kehendak dan tuntutan penolakan yang mempengaruhi sikap mayoritas warga Italia
terhadap sistem politik mereka dalam semua aspeknya (Almond & Verba, 1963).
Meksiko dipilih sebagai salah satu
sample penelitian sebagai contoh negara demokrasi yang terletak di luar kawasan
atlantik. Sebelum terjadi revolusi, politik dan pemerintahan Meksiko sangat bersifat
alienatif ekstraktif dengan struktur yang eksploitatif. Revolusi di Meksiko
secara mendalam kemudian telah mempengaruhi struktur sosial dan politik yang
mengarah pada demokrasi yang modern. Banyak warga Meksiko yang memandang
revolusi sebagai alat demokratisasi dan modernisasi sosial ekonomi. Namun,
Meksiko merupakan negara yang paling tidak modern dari negara-negara lainnya
yang diambil sebagai sample, karena di Meksiko masih memiliki orientasi
tradisional dan angka buta huruf yang masih sangat tinggi.
Hasil dari proses perbandingan lima
budaya politik yang kontras tersebut secara garis besar adalah; Amerika Serikat
dengan budaya politik patisipan dengan aktor-aktor politik yang percaya diri
dan kompeten memilik pemimpin politik dan administrasi; Inggris dengan budaya
politik yang diferensial; Jerman dengan keterlepasan politik dan kompetensi
subyek dengan kepercayaan diri tentang sistem administrative; Italia dengan
budaya politik alienasi dengan rasa percaya diri dan kompetensi yang rendah;
Meksiko dengan rendahnya alienasi dan aspirasi, namun rasa percaya diri yang
positif.
Proyek penelitian “Civic Culture”
yang dilakukan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba pada 1963 ini dianggap
sebagai groundbreaking dari ilmu sosial. Melalui proyek ini,
kedua penulis menciptakan teori civic culturesebagai penjelasan
dari keterlibatan warga negara dalam politik atau kurangnya partisipasi warga
negara di negara-negara demokrasi. Penelitian ini juga merupakan upaya pertama
untuk mengumpulkan dan menyusun partisipasi warga negara melalui pengukuran
variabel secara sistematis dalam lima negara yang berbeda. Almond dan Verba
melakukan survey di lima negara dengan 1000 sample di masing-masing negara.
Mereka menmenyusun data dalam variabel ordinal dan interval, menyertakan
konsistensi dan validitas dari metodologi kuantitatif. Dalam bukunya, Almond
dan Verba juga melampirkan tabel statistic bersama dengan studi kasus
individual dan metode diskriptif.
Variabel-variabel tersebut
ditentukan berdasarkan survei cross-sectional,mengukur kualitas
yang digunakan untuk menaksir tingkat partisipasi politik warga negara di
Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko. Variabel-variabel yang
digunakan antara lain; pengaruh pemerintah terhadap kehidupan sehari-hari dan
kesadaran politik warga negara. Selain itu, penelitian dilakukan dengan
masing-masing individu diberi pertanyaan tentang sikapnya terhadap orang lain,
hubungan mereka satu sama lain, termasuk berbagai kegiatan sosial, keanggotaan
organisasi, dan kegiatan politik yang diikuti (Almond & Verba, 1963).
Kemudian, setiap jawaban para responden digeneralisir
untuk merumuskan dan menggambarkan kerangka hubungan individu dalam sistem
politik. Almond dan Verba juga menggunakan metodologi eksperimen daripada
menyimpulkan teori dari sistem kelembagaan umum di negara-negara yang dibahas
tersebut untuk memperoleh hasil yang valid dalam teori demokrasi yang ilmiah.
Metode perbandingan politik yang
digunakan dalam penelitian yang dilakukan Almond dan Verba adalah Most
Similar Systems Design (MSSD), yaitu membandingkan beberapa kasus
serupa yang hanya membedakan variabel dependent. MSSD
membandingkan obyek-obyek yang sama dengan variabel-variabel yang sama di
antara subyek-subyeknya dan mencoba untuk memahami mengapa hasilnya (outcome) berbeda
di antara subyek-subyek tersebut. Dengan kata lain, dalam Most Similar
Systems Design, yang menjadi pokok perhatian adalah
persamaan-persamaan di antara negara atau kasus tertentu, dengan tujuan untuk
melihat hal-hal yang berbeda. Dalam buku “Civic Culture” karya Almond dan Verba
(1963) ada lima negara yang dibandingkan, yakni Amerika Serikat, Inggris,
Jerman, Italia, dan Meksiko untuk mengkaji dan membandingkan bagaimana
kesusksesan demokrasi di masing-masing negara. Dengan menggunakan variabel-variabel
yang sama, seperti peran pemerintah dan partisipasi warga negara dalam sistem
politik, Almond dan Verba juga membahas asal-usul historis dari budaya politik
dan fungsi budaya tersebut dalam proses perubahan sosial. Mereka membandingkan
pola-pola perilaku politik di lima negara dan berpendapat bahwa sistem
demokratis membutuhkan budaya politik yang mendorong partisipasi politik di
semua negara. Hasilnya adalah Amerika Serikat dan Inggris merupakan
negara-negara dengan penerapan demokrasi yang jauh lebih sukses dan unggul
daripada Jerman, Italia, dan Meksiko. Perbedaan tersebut diperoleh dengan
membandingkan latar belakang historis negara dan tingkat kesadaran warga negara
untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik negara.
Dari penjelasan di atas, penulis
menyimpulkan bahwa dalam buku “Civic Culture” karya Gabriel Almond dan Sidney
Verba (1963) dijelaskan bahwa budaya politik merujuk pada perilaku terhadap
sistem politik dan bagian-bagiannya, serta perilaku diri terhadap sistem
tersebut. Pertanyaannya adalah “Apakah pola perilaku politik bisa membantu
perkembangan stabilitas demokrasi?” Almond dan Verba kemudian menyimpulkan
bahwacivic culture merupakan percampuran budaya politik dimana
individu tidak selalu sepenuhnya aktif maupun pasif. Untuk mengantisipasi
kritik, Almond dan Verba kemudian menekankan bahwa penelitiannya tidak memuat
kekuatan penjelas untuk menciptakan civic culture di
negara-negara yang baru berdiri. Civic culture muncul di
negara-negara Barat sebagai hasil dari perkembangan politik yang gradual, yaitu
berdasarkan sejarah dan karakteristik budaya politik, yang meleburkan pola
perilaku politik yang lama dengan yang modern.
Bedah Buku Dibawah
Bendera Revolusi"Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme"
Artikel Bung Karno yang
berjudul Nasionalisme, Islamisme
dan Marxisme, (DBR I hal. 1-23)
yang ditulis tahun 1926 memang merupakan salah satu artikel yang cukup menarik
untuk dibedah karena materi yang terka ndung sangatlah relevan dengan fenomena
ketatanegaraan Indonesia saat ini, dimana kekuatan-kekuatan ideologi (kiri)
kembali mencuat ke muka setelah tiga dekade sempat terkubur dalam kepemimpinan
rejim tiran.
Artikel ini juga
menjadi sangat penting karena memuat sebuah gagasan dasar yang kelak akan
menjadi landasan konsep kebangsaan Indonesia. Dalam artikel tersebut Bung Karno
mencoba menyatukan tiga kekuatan besar yang ada di Indonesia pada saat itu
dalam satu front nasional, yaitu nasionalis, Islam, dan marxis (kelak akan
disempurnakan dalam sebuah strategi persatuan "Nasakom").
Gagasan penyatuan
kekuatan oleh Bung Karno itu pada dasarnya didasarkan pada sebuah fakta sejarah
dimana pergerakan nasional saat itu sulit mencapai kristalisasi perjuangan akib
at tidak mampu bersinerginya kekuatan-kekuatan nasional yang ada. Sehingga
pergerakan nasional menjadi parsial dan cenderung fragmentatif. Untuk itu, Bung
Karno merasa perlu menyatukannya, dengan harapan gerakan dapat kembali massif
melawan imperium kapit alis.
Langkah yang dipakai
Bung Karno dalam upaya menyatukan tiga kekuatan tersebut sangatlah brilian
karena ia berhasil membedahnya dalam perspektif masing-masing kekuatan.
Sehingga kesamaan-kesamaan prinsip kembali ditemukan dan ditegaskan untuk
kemudia n disatukan sebagai satu keharusan sejarah (historische notwendigkeit).
*********
Kekuatan yang pertama
dibedah Bung Karno adalah nasionalis. Dalam membedah nasionalisme tersebut,
bung Karno mengawalinya dengan menceritakan sejarah munculnya paham nasion
alisme dengan mengutip pernyataan Ernest Renan (1882), seorang filusuf Perancis
dan Otto Bauer (kelompok Austromarxis). Renan memunculkan satu teori bahwa
munculnya satu bangsa karena adanya perasaan ingin hidup bersama (bersatu).
Sementara Bauer menyatak an bahwa munculnya suatu bangsa itu bukan semata-mata
hanya karena adanya kesamaan ras, bahasa, suku, agama ataupun kebutuhan, tetapi
lebih dari itu, timbulnya bangsa karena adanya kesamaan riwayat (sejarah)
bersama. Dan teori Renan dan
Bauer ini ternyata relevan di kemudian hari dengan sejarah berdirinya bangsa
Indonesia atas kesamaan nasib (sejarah) sebagai bangsa yang tertindas.
Dalam perkembangan
faham nasionalisme berikutnya, ternyata bung Karno tertarik dengan
nasionalismenya Gandhi. Ketertarikanya d idasarkan pada pemikiran Gandhi yang
memanifestasikan rasa nasionalismenya dengan mencintai manusia dan kemanusiaan
(humanisme), tanpa membedakan ras, suku maupun agama (pendek kata universal).
Dari pemikiran Gandhi ini, kemudian bung Karno menyempurnakan nya lagi, yang
dikemudian hari akan menjadi roh kaum nasionalis Indonesia. Penyempurnaan itu
dilakukan dengan cara menambah dua bagian lagi dari makna nasionalismenya
Gandhi.
Bagian pertama : rasa cinta tanah air harus berdasarkan
manusia dan kemanusiaan (sama dengan Gandhi).
Bagian kedua : rasa cinta tanah air harus bersendikan
pengetahuan atas perekonomian dunia dan riwayat (sejarah). Maksudnya dari
bagian kedua ini, bung Karno menginginkan munculnya rasa nasionalisme bukan
hanya karena pera saan emosional saja, melainkan dari satu kesadaran atas
pengetahuan terhadap sejarah ekonomi dunia yang penuh dengan penindasan dan
eksploitasi.
Bagian ketiga : rasa cinta tanah air Indonesia
bukanlah copy (tiruan) dari nasionalisme barat.
Maksud Sukarno adalah, nasionalisme Indonesia tidak boleh bersifat chauvist sebagaimana yang terjadi di dunia
barat (eropa), sebuah nasionalisme yang hanya didasari semangat memerangi
bangsa lain. Sifat-sifat chauvinisme bangsa eropa ini mengingatkan kita
pada sebuah teori Il Principe (Sang Penguasa) Niccolo di Bernando Machiavelli (1496-1557), seorang filusuf jaman renaissance kebangsaan Italia. Dalam teorinya, ia
mengemukakan bahwa kekuasaan diijinkan menghalalkan segala cara untuk meraih
dan mempertahankan kekuasaannya (cikal bakal teori absolutisme). Bagi Machiavelli, moral dan etika harus
diabaikan dalam persoalan politik dan kekuasaan. Teori inilah yang kemudian
mungkin dijadikan legitimasi dan justifikasi politik kaum imperialis untuk
menjajah negara-negara dunia ke tiga berabad-abad lamanya. Dan sifat
nasionalisme ini pulalah yang membuat tidak pernah damainya eropa akibat
peperangan yang tidak pernah kunjung usai, mulai dari jaman imperium Romawi
sampai dengan perang dunia II. Gold,
Glory n' Gospel menjadi sebuah sl
ogan yang selalu menyemangati setiap peperangan-peperangan di eropa dalam
sebuah perdebatan wilayah.
Dari pemahaman tentang
nasionalisme tersebut di atas, jelaslah bagi kita bahwa nasionalisme Indonesia
ternyata bersifat humanis, revolusioner dan tidak ch auvis. Untuk itulah, maka
bung Karno akan menyalahkan kaum nasionalis jika ia tidak mau bekerjasama
dengan kaum marxis, Islam maupun kelompok lainnya. Karena dengan faham
nasionalisme seperti itu, maka siapapun harus menjadi kawan bagi kaum
nasionalis sel ama kapitalisme menjadi musuh bersamanya dan kemanusiaan menjadi
landasan perjuangannya.
Jika alasan kaum
nasionalis saat ini tidak mau bekerjasama dengan kaum Islam hanya karena alasan
kekhawatiran kaum nasionalis terhadap kaum Islam yang akan membawa-ba wa agama
dalam persoalan politik nantinya, dianggap oleh Bung Karno sebagai sebuah
pandangan yang salah. Sebab Islam yang sebenarnya tidaklah demikian. Justru
Islam (agama) bagi Bung Karno harus dijadikan dasar nation and caracter building, karena
nilai-ni lai agama memang membawa nilai-nilai universal yang humanis dan
transenden. Hanya saja, Islam di Indonesia memang masih belum menunjukkan api
(roh)-nya, karena masih tercampur baur dengan feodalisme. Pandangan Bung Karno
tentang Islam dapat dilihat melalu i artikel-artikel lainnya di DBR I, antara
lain : surat-surat Islam dari
Ende, me-muda-kan pengertian Islam, masyarakat onta dan kapal udara, apa sebab
Turki memisahkan agama dari negara ?, dan
beberapa lagi diantaranya, yang kesemuanya nanti akan kita bedah pula.
Yang paling menarik
adalah artikel berjudul : Apa
sebab Turki memisahkan agama dari negara (DBR
I hal.1-23). Disana secara implisit kita dapat melihat alasan Bung Karno
mengapa ia menolak negara Islam. Ia mencontohkan Kamal Ataturk di Turki yang selalu kesulitan
membangun negaranya akibat ulah tokoh agama yang seringkali melarangnya membuat
kebijakan publik karena dianggap menyalahi agama walaupun kebijakan itu
bersifat menolong rakyatnya. Setiap kali negara mengambil keputusan, selalu
harus mend apat persetujuan terlebih dahulu dari pada ulama untuk ditentukan
apakah sunnah, halal, makruh ataukah haram.
Akibatnya Turki menjadi
tidak dinamis dan sulit berkembang. Bahkan di Saudi Arabia, pernah Ibnu Saud dilarang para ulama mendirikan tiang
radio h anya karena dianggap makruh. Lebih parah lagi, di Turki, pemerintah
juga pernah dilarang mendatangkan para dokter untuk mengobati rakyatnya yang
terkena penyakit pes karena ulama menganggapnya sebagai tindakan melawan
takdir. Akibatnya Islam terpaksa kehi l angan rohnya, bukan karena ajarannya,
melainkan karena para ulamanya yang terlalu takut pada pembaharuan dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itulah kemudian Kamal Ataturk terpaksa memisahkan
agama dari terminologi negara agar dapat mengemb alikan api Islam yang
sesungguhnya.
Itulah pandangan Bung
Karno terhadap Islam dengan cara mencontohkan fenomena negara Turki. Dari sana
dapat kita simpulkan bahwa yang diperlukan dari Islam adalah apinya untuk ikut
membantu nation and caracter
building d engan ajaran moral dan
budi pekertinya yang luhur, humanis, sosialis, anti kapitalis dan sekaligus
transenden (religius). Jadi tidak berupa simbol-simbol kosong belaka, yang
justru malah akan mematikan ajaran Islam itu sendiri. Untuk membuktikan bahwa
aja ran Islam itu humanis, sosialis dan anti kapitalis tersebut Bung Karno
tidak segan-segan mencontohkan pelopor-pelopor pan-Islamisme seperti Sayyid Jamaluddin dan Muhammad
Abduh.
Itulah Islam bagi bung
Karno, dan itulah Islam yang harus dirangkul dan dipel uk sebagai kawan oleh
kaum nasionalis. Kaum nasionalis India saja, yang mayoritas Hindustan, mau
bekerjasama dengan kelompok pan-Islam India seperti Maulana Muhammad Ali dan Syaukat
Ali, apalagi kaum nasionalis Indonesia yang mayoritas sama-sama penganut agama
Islamnya.
**********
Setelah bung Karno
berhasil membedah hubungan antara nasionalisme dan Islamisme, kemudian bung
Karno mencoba membedah hubungan antara nasionalisme dan marxisme. Dalam artikelnya
itu bung Karno secara tegas menerangkan bahwa tida k ada perbedaan yang prinsip
antara kaum marxis dengan nasionalis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa dua
kekuatan itu selalu mampu bersatu. Contohnya adalah sejarah revolusi China
dimana kaum marxis kelompok Mao
Tse Tung dapat bergandengan
tangan dengan Kuomintang yang nasionalis pimpinan Sun Yat Sen melawan dinasti “tiran”Manchu. (mohon diingat : tulisan ini dibuat
sebelum terjadinya perang saudara antara Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek
melawan Kun Chan Tang pimpinan Mao Tse Tung).
Bahkan di Indonesia
sendiri, buruh-buruh yang digerakkan kaum marxis untuk melawan hegemoni modal
Belanda yang tertanam di perusahaan-perusahaan (mascappij) Indonesia, (lihat sejarah pemogokan karyawan
kereta api oleh PKI di Semarang 1923), secara tidak langsung selaras (sinergi)
dengan machtvorming yang dilakukan oleh kaum nasionalis.
Karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menyadarkan rakyat
agar bersama-sama melawan kaum imperialis Belanda. Apalagi dengan adanya
gerakan kaum buruh tersebut, sadar at au tidak, semangat nasionalisme telah
tercipta dengan bersatunya kaum buruh Indonesia. Disini semakin jelas terlihat
bahwa tidak ada persoalan yang prinsip bagi kaum nasionalis dan marxis untuk
tidak saling bekerjasama. Bahkan secara tidak sadar dua kekua tan tersebut
telah saling bahu-membahu dan dukung mendukung dalam satu proses perjuangan
nasional.
Jika alasan kaum
nasionalis tidak mau bekerjasama dengan kaum marxis hanya karena anggapan bahwa
kaum marxis telah berkhianat karena telah mau bekerjasama d engan bangsa barat,
dianggap sebagai satu hal yang salah kaprah oleh bung Karno. Disini bung Karno
menegaskan, bahwa lawan sebenarnya adalah sistem (stelsel), bukan orangnya. Apalagi
bangsa barat yang bekerjasama dengan kaum marxis Indonesia adalah bangsa-bangsa
penganut marxis pula yang saat itu tergabung dalam commintern, jadi bukan bangsa bule yang
menganut stelsel kapitalisme. Bagi bung Karno, siapapun
orangnya, tidak peduli bangsa asing ataukah pribumi, jika ia kapitalis tentu
saja akan menjadi musuh bersama (lihat artikel : kapitalisme bangsa sendiri, DBR I hal.181).
Namun bung Karno juga
menyalahkan pandangan kaum marxis yang menganggap kaum nasionalis adalah kaum
yang berpikiran sempit yang hanya memikirkan bangsanya sendiri ketimbang
seluruh bangs a di dunia. Jelas pandangan ini tidak benar, karena memang
nasionalisme Indonesia tidakchauvist. Nasionalisme Indonesia justru sangat
humanis, dimana nilai-nilai kemanusiaan (zonder
exploitation de lhomme par lhomme) dan
perdamaian abadi (zonder
exploitation de nation par nation) menjadi
roh dan cita-citanya. Dan secara prinsip cita-cita kaum nasionalis ini ternyata
tidak bertentangan dengan cita-cita kaum marxis itu sendiri, yang menginginkan
terwujudnya sosialisme dunia melalui internationale-nya.
************
Setelah membedah
hubungan nasionalisme dan marxisme, yang terakhir, bung Karno mencoba membedah
hubungan antara Islamisme dan marxisme. Secara lugas bung Karno dapat
menjelaskan bahwa ajaran-ajaran pokok marxisme pada dasarnya tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, justru sebaliknya malah sesuai dengan apa yang diajarkan
oleh Islam itu sendiri.
Salah satu hal yang
dikemukakan bung Karno adalah tentang masalah “teori
nilai lebih” (surplus
value/meewaarde). Nilai lebih ya ng selama ini menjadi dasar pemikiran kaum
marxis dalam upaya memperjuangkan kaum buruh tersebut pada dasarnya tidak jauh
beda dengan apa yang diistilahkan denganriba dalam
hukum Islam. Teori nilai lebih
itu menjelaskan bagaimana nilai kerja yang dikeluar kan kaum buruh tidak
sebanding dengan upah yang ia peroleh. Sebaliknya keuntungan dapat diperoleh
secara berlipat-lipat oleh para pemilik modal. Inilah faktor keadilan yang
digagas Marx dalam konsep teori nilai lebih itu. Dan menurut pandangan hukum
Islam , nilai lebih atau riba,
atau mengambil keuntungan dari yang bukan haknya, adalah satu hal yang dilarang
oleh agama. Dan bung Karno menyitirnya dari salah satu ayat Al-Qur’an (al-Imran
129).
Lontaran bung Karno ini
sama persis dengan apa yang dilontarkan oleh Tjokroaminoto dalam salah satu
tulisannya yang juga mencari kesamaan antara Islam dan marxisme (1924). Hanya
saja, Pak Tjokro sedikit menambahkan persamaan lagi yaitu mengenai tujuan
marxisme untuk menghentikan penindasan dengan cara memerdekakan par a buruh.
Apa yang selama ini menjadi perjuangan kaum marxis itu pada dasarnya juga
menjadi tujuan Islam dalam menjalankan hablum
minannas-nya. Kaum Islam adalah kaum yang anti perbudakan. Bukti dari kaum
Islam anti perbudakan itu, kita dapat melihatnya dari tindakan Nabi Muhammad
saw sendiri yang telah memerdekakan seorang budak agar dia terhindar dari
penindasan. Dari sini nampak bahwa apa yang dilakukan dan menjadi cita-cita
kaum marxis sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam, walaupun
cara-car anya tetap ala kaum marxis sendiri.
Bung Karno mengakui
bahwa antara kaum Islam dan kaum marxis tetap memiliki perbedaan, khususnya
mengenai asasnya. Jika Islam berasaskan spiritualisme, marxisme berasaskan
materialisme. Namun bagi bung Karno perbedaan it u tidaklah menjadi halangan,
selama cita-citanya adalah sama-sama sosialis dan musuhnya sama-sama kapitalis.
Jika saat ini kaum
Islam enggan bekerjasama dengan kaum marxis karena alasan kaum marxis atheis,
bung Karno mencoba meluruskannya bahwa kaum marxis pada dasarnya tidak atheis. Image atheis itu pada dasarnya tidak lebih
sebagai implikasi propaganda kaum gereja yang sengaja mengaburkan antara faham wijgerig-materialisme dengan histories-materialisme. Padahal secara substantif keduanya
memiliki arti yang sangat berbeda.Wijgerig-materialisme adalah cara berpikir untuk mencari
tahu dimanakah pikiran itu berasal, sementara histories-materialisme mempelajari pertumbuhan pemikiran
manusia. Namun kaum gereja sengaja mencampur adukkannya sehingga kemudian
menimbulkan image bahwa kaum marxis adalah kaum yang
men-Tuhan-kan materi dengan cara menyembah benda. Benda adalah segala-galanya
dan keberadaan Tuhan sengaja dinegasikan.
Bagi bung Karno itu
tidak benar, sebab historis
materialisme yang dikemukakan Hegel yang kemudian disempurnakan oleh Marx melalui
materialisme dialektikanya hanyalah sebuah pisau analisis saja dalam upaya
membedah persoalan-persoalan penghisapan dalam kehidupan manusia yang tidak
bisa dilepaskan dari masalah ekonomi. Sehingga dengan pisau analisis histories materialisme tersebut maka lahirlah sebuah teori
baru yang mengupas penyebab penindasan kaum buruh dengan melahirkan teori nilai
lebih (surplus value/meewaarde) dan prediksi dari implikasi penindasan
tersebut(verelendung).
Polemik persepsi apakah
komunisme atheis atau tidak, kita dapat meruntutnya dari kronologi sejarah
pemikiran materialisme, mulai dari George
Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Ludwig Feurbach (1804-1872) dan Karl Marx sendiri (1818-1883). Jika mau jujur,
adalah Feurbach yang paling radikal mengkritik agama.
Kritik Feurbach ini disebabkan pada ketidakpuasannya
pada Hegel. Bagi Feurbach, pemikiran Hegel yang menyatakan bahwa segala
perbuatan, pemikiran dan tingkah laku manusia adalah kehendak “roh semesta” (Tuhan), dan manusia dianggap seperti
wayang dan Tuhan adalah dalangnya, oleh Feurbach dianggap tidak rasional. Pemikiran
Hegel itu ditentang Feurbach karena menurutnya Tuhan itu hanyalah
replika angan-angan manusia. Dan agama adalah pikiran-pikiran ideal manusia
tentang hakekatnya. Feurbach tidak setuju jika manusia menyembah
Tuhan yang direkayasanya sendiri. Menurut Feurbach,
jika manusia ingin lepas dari keterasingannya, manusia harus meniadakan agama,
dan tidak perlu menyembah Tuhan, dialah yang harus menjadi Tuhan atas dirinya
sendiri agar bisa menjalankan hakekat yang diyakininya.
Pemikiran Feurbach ini kemudian disempurnakan oleh Marx. Menurut Marx, tidak ada gunanya mengkritik
agama, sebab nilai-nilainya mengajarkan kebaikan. Hanya saja menurut Marx, nilai-nilai tersebut tidak
diwujudkan, melainkan disembah dan diharapkan berkahnya. Oleh karena itu Marx lebih
sepakat mengkritik struktur masyarakat ketimbang agama. Kenapa manusia tidak
menjalankan hakekatnya sebagaimana ajaran agama yang diyakininya ? Kenapa
manusia hanya menyembah dan mengharap berkah dan menunggu takdir ? Itulah yang
dicari Marx dalam struktur sosial.
Pemikiran Feurbach yang disempurnakan Marx inilah
yang kemudian dijadikan senjata kaum gereja untuk memvonis komunis atheis. Dan propaganda
kaum gereja ternyata efektif sehingga persepsi yang sengaja dibuat salah itu
telah terlanjur menjadi persepsi umum masyarakat eropa, sehingga imagenegatif itu tetap tidak dapat
dihapuskan, bahkan menjalar sampai ke Indonesia. Akibat ulah kaum ge reja
inilah yang kemudian membuat kaum marxis menjadi dendam dan semakin benci
terhadap kaum gereja. Namun bagi bung Karno, kebencian kaum marxis tersebut
tidak boleh digeneralisasi dengan keberadaan agama Islam di Indonesia. Sebab
agama Islam di Indonesi a bukanlah agama Katolik di eropa yang menjadi penguasa
dan berkuasa, melainkan tertindas dan ditindas. Sehingga tidak perlu kaum
marxis Indonesia ikut-ikutan membenci dan memusuhi kaum Islam Indonesia. Begitu
pula sebaliknya, kaum Islam Indonesia tidak pe rlu lagi membenci kaum marxis
Indonesia karena mereka memang bukan atheis, justru mereka mayoritas muslim,
apalagi cita-cita dasarnya sama-sama sosialis dan musuhnya juga sama-sama
kapitalis.
Itulah pokok-pokok
pikiran bung Karno yang mencoba menghubungkan tiga kekuatan besar tersebut :
nasionalisme dan marxisme, nasionalisme dan Islamisme, Islamisme dan marxisme.
**************
Setelah melihat isi
pokok dari artikel berjudul nasionalisme,
Islamisme, marxisme, ada baiknya
pula jika kita sedikit menengok sejarah pada tahun 20-an, tahun dimana tulisan
itu digulirkan oleh Bung Karno. Di akhir tulisan, bung Karno sempat memunculkan
tiga nama yang dianggap representasi tiga kekuatan, yaitu : Oemar Said
Tjokroaminoto, Sema’oen dan Tjipto Mangunkusumo.
Tjokroaminoto mewakili
kelompok Islam melalui Sarekat Islam (SI) yang berdiri sejak 1912. Sema’oen
mewakili kaum marxis melalui Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berdiri sejak
1920 dari rahim de Indische
Sociaal Democratiesce Vereeniging (ISDV
1917). Dan terakhir Tjipto Mangunkusumo yang mewakili kelompok nasionalis
melalui Boedi Oetomo yang berdiri sejak tahun 1908.
Hubungan kerjasama
antara kekuatan-kekuatan tersebut pada dasarnya telah terjalin sejak masa
1920-an, khususnya antara kaum marxis (PKI) dan Isl am (SI). Untuk kaum
nasionalis (Boedi Oetomo), saya kesulitan mencari referensinya sehingga tidak
bisa menceritakan sejauh mana hubungan Boedi Oetomo dengan PKI maupun SI.
Justru yang banyak diceritakan dalam cuplikan sejarah adalah figur bung Karno sendi
r i dalam sepak terjangnya memberikan gagasan-gagasan nasionalisme. Sebenarnya
bagi saya, yang lebih pantas merepresentasikan kaum nasionalis pada tahun 20-an
itu adalah bung Karno bukan Boedi Oetomo. Sebab di tahun-tahun itu, bung Karno
banyak sekali mengu k ir sejarah, diantaranya pendirian Partai Nasional
Indonesia (PNI) tahun 1927 dan pencetusan Sumpah Pemuda 1928 dalam Kongres
Pemuda II. Namun jika kawan-kawan lain ada yang lebih lengkap referensinya,
mungkin dapat pula menulisnya sebagai bahan kajian kit a bersama. Dan kembali
kepada pokok persoalan, karena keterbatasan referensi itu, maka saya mohon maaf
jika hanya mampu menceritakan kronologis sejarah antara PKI dan SI saja.
*************
Beberapa catatan
sejarah menyatakan bahwa hubungan antara PKI dan SI telah terjalin erat sejak
tahun 1917, terutama sejak berdirinya de
Indische Sociaal Democratiesce Vereeniging (ISDV),
partai sosialis yang pertama kali berdiri di Indonesia oleh orang-orang Belanda
yang bekerja di Indonesia. Namun versi sejarah menyat akan bahwa kedekatan PKI
dan SI saat itu, tidak lebih dari keteledoran SI yang telah disusupi ideologi
marxis. Kedekatan SI dengan kaum marxis inilah yang kemudian membuat SI
terpecah menjadi dua yaitu “SI
merah” dan “SI putih”. Orang-orang yang selama
ini merangkap keanggotaan dalam SI dan PKI, setelah terkena disiplin partai
oleh Tjokroaminoto, akhirnya dikeluarkan dari SI. Orang-orang yang dikeluarkan
tersebut mereaksinya dengan cara mendirikan SI merah (SI yang berbau marxis)
dengan tokoh-tokohnya sepe rti Sema’oen, Mas Marco Martidikoro dan Haji
Misbach, yang poros gerakannya dipusatkan di Semarang Jateng. Namun keberadaan
SI merah ini tidak bertahan lama, karena Sema’oen sebagai tokohnya ternyata
lebih aktif di PKI, karena ia memang memiliki anggota rangkap baik di SI maupun
PKI. Mas Marco sendiri kemudian lebih memilih meneruskan aktifitasnya sebagai
jurnalis dalam surat kabar Doenia
Bergerak yang ia pimpin.
Hubungan PKI dan SI
resmi putus sejak tahun 1923 yang diinisiatifi oleh PKI sebagai reaksi atas
program disiplin partai yang diterapkan Tjokro pada seluruh anggota SI. Sikap
PKI yang mulai ekslusif dan tidak mau bekerjasama dengan kekuatan nasional
lainnya ini pada dasarnya terletak dari kepongahan pimpinan PKI itu sendiri
(Alimin, Muso dan Sema ’oen).
Kepongahan itu muncul karena doktrin PKI sendiri yang harus menjadikan PKI
sebagai partai pelopor (avantgarde) dan harus menjadi satu-satunya partai
yang boleh hidup bila mereka berkuasa nanti, sebagaimana ajaran
marxisme-leninisme yang mendominasi alir an di tubuh PKI. Dengan sikap doktrin
seperti itu, jelas PKI menganggap tidak perlu beraliansi dengan kekuatan lain
yang mestinya dapat ia jadikan kawan.
Sikap doktrin seperti
ini sebenarnya dianggap salah oleh Datuk
Sutan Ibrahim atau cukup dikenal
denga n nama Tan Malaka (1896-1949). Sebab menurut Tan, doktrin itu yang
menyebabkan kaum marxis susah merebut kekuasaan karena telah mengabaikan
kekuatan-kekuatan lainnya, khususnya kekuatan pan-Islamisme yang pada saat itu
juga mulai mencuat di Asia melawan i mperialisme. Sikap dari pemikiran Tan yang
menentang kebijakan PKI ini sebenarnya sangat wajar, mengingat Tan saat itu
memang sedang aktif dalam commintern mewakili Asia Tenggara. Dan di commintern saat itu memang sedang
gencar-gencarnya terjadi perdebatan konsep dalam upaya merevisi marxisme.
Perevisian konsep
marxisme tersebut bermula dari gagasan Antonio
Gramsci (1891-1937), pendiri
Partai Komunis Italia tahun 1921, yang kemudian dituangkan dalam salah satu
bukunya Prison Notebooks. Pada prinsipnya Gramsci menyampaikan
betapa pentingnya partai komunis beraliansi dengan partai lain untuk
bersama-sama merebut kekuasaan dari tangan kapitalis. Konsep partai tunggal
sebagaimana diteorikan Vladimir
Ilyits Ullianov yang kemudian
dikenal dengan nama V.I. Lenin (1870-1924) oleh Gramsci dianggap sudah tidak
relevan lagi dan justru menyulitkan gerakan kaum komunis. Bagi Gramsci,
kekuasaan lebih mudah direbut dengan cara beraliansi dengan kekuatan lain
melalu i sistem parlementer.
Pemikiran Gramsci
inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai awal bangkitnya komunisme baru dalam Internationale III yang berhasil merevisi dan memperbaiki
marxisme, yang kemudian mengidentifikasikan dirinya dengan menyebut “erokomunisme”. Lebih lengkapnya,
tentang perubahan-perubahan konsep marxisme ini kawan-kawan dapat mencermati
pemikiran-pemikiran yang pernah dilontarkan oleh Rosa Luxemburg, Eduard Bernstein,
Vladimir Lenin, Karl Kautsky dan Antonio Gramsci, yang pada akhirnya
memunculkan perdebatan panjang diantara mereka sendiri.
Erokomunisme ternyata
juga dapat dibaca dan ditangkap oleh bung Karno. Di dalam artikelnya, ia
menyambut positif perubahan komunisme itu. Bagi bung Karno, perevisian itu
dianggap sebagai satu langkah m aju, karena Marx memang bukan seorang dewa,
yang ajarannya harus bersifat absolut-dogmatis, melainkan harus terus direvisi
agar dapat dinamis sesuai perubahan dan perkembangan jaman. Dengan perubahan
itulah, maka wajar jika Sukarno mengkritik PKI yang tid ak mau bekerjasama
dengan kekuatan nasional lainnya, padahal partai-partai komunis di eropa
(barat) telah melakukannya.
Satu-satunya tokoh PKI
yang sepakat dengan perubahan konsep marxisme hanyalah Tan Malaka. Bahkan di
tahun 1921, Tan telah mengeluarkan sebuah tulisan berjudul Sovyet atau Parlemen, yang intinya hampir sama dengan pokok
pikiran Gramsci, bahwa sistem parlementer jauh lebih baik daripada sistem
partai tunggal soviet. Tentang sifat elitisme di tubuh PKI, Tan sudah
seringkali menganjurkan kepad a tokoh-tokoh PKI lainnya agar mau beraliansi dengan
partai-partai lain, terutama kekuatan pan-Islamisme Indonesia yang saat itu
diwakili Sarekat Islam. Bahkan Tan sangat menyesalkan tentang putusnya hubungan
PKI dan SI di tahun 1923.
Namun apa yang
dianjurkan oleh bung Karno maupun Tan Malaka, tampaknya tidak mampu
menggoyahkan sikap Sema’oen dan kawan-kawannya, karena doktrin Sovyet dengan
sistem diktatuur proletariat (tepatnya diktatuur partai) telah terlanjur
berhegemoni dalam pikirannya. Bahkan pesona keberhasilan revolusi Oktober 1917
kaum Bolsyevik dalam perjuangan bersenjata melawan rejim Tsar, telah
mengilhaminya untuk melakukan pemberontakan PKI di tahun 1926. Keputusan untuk
memberontak ini ditentang keras Tan Malaka, sebab Tan tahu bahwa Sema ’oe n dan kawan-kawannya telah buta
matanya terhadap faktor obyektif yang ada dalam masyarakat karena telah
tertutup oleh faktor subyektif (ideologis) yang berlebihan. Sehingga Tan
menganggap tindakan itu tidak lebih sebagai tindakan yang bersifat advonturir
dan kekanak-kanakan.
Namun pemberontakan
tetap dilaksanakan, dan ternyata memang gagal. Alimin, Muso, Darsono dan Sema’oen
berhasil melarikan diri ke Rusia. Namun ratusan ribu tetap ditangkap dan
dibuang ke Digul, Tanah Merah, Irian Jaya (Papua). Atas keka lahan PKI itu,
maka Tan Malaka memutuskan untuk mendirikan partai lagi yang diberi nama Partai
Republik Indonesia (PARI) di tahun 1927, bersama-sama Subakat dan Jamaludin
Tamim. Dan pada tahun 1948 kemudian, Tan Malaka kembali mempromotori
pembentukan Par tai MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak) yang didukung kader-kader
mudanya, Chaerul Saleh, Sukarni dan Adam Malik..




















